| 2 komentar ]

Mohamad Widodo

Pencelupan dengan karbon dioksida superkritik (SCO2) membutuhkan kondisi proses dengan tekanan sangat tinggi, yaitu sekitar 200-300 bar, jauh di atas titik kritiknya yang ‘hanya’ 73,8 bar. Tekanan sebesar itu kurang-lebih setara dengan 40-60 kali tekanan operasional mesin-mesin pencelupan HT-HP dan diperlukan untuk mendorong perpindahan dan adsorpsi zat warna dari SCO2 ke serat.

Mencermati perkembangan studi tentang pencelupan dengan metoda ini yang secara umum lebih difokuskan pada zat warna dan kimia-fisika pencelupannya, berikutnya muncul pertanyaan menarik yang saat ini belum cukup menarik perhatian: konsekuensinya terhadap sifat mekanik maupun morfologi serat. Bagaimanakah sesungguhnya pengaruh kondisi proses terhadap kekuatan serat? Adakah perubahan signifikan pada morfologi dan struktur internal serat? Bila ada, bagaimana pula efeknya terhadap sifat-sifat mekanik dan kimia serat?

Sebagai kelanjutan dari tulisan terdahulu mengenai pencelupan dengan karbon dioksida superkiritik, maka saat ini akan dibahas efek-efek yang dapat ditimbulkan oleh kondisi prosesnya yang ekstrim terhadap sifat-sifat fisik serat, terutama poliester. Ini menjadi sangat penting, tidak hanya karena berkaitan dengan kekuatan dan kedayagunaan serat, namun juga karena pengaruhnya terhadap mutu dan reproduksibilitas penyerapan zat warna dalam proses pencelupan.

Efek plastisasi CO2 pada Polimer Serat

Pada tulisan terdahulu telah dijelaskan bahwa karbon dioksida superkritik memiliki kelarutan sangat tinggi di dalam banyak bahan polimer, dan seperti halnya pelarut organik ia bekerja menggembungkan serat. Penyerapannya ke dalam bagian amorf serat poliester mencapai 7.5 x 10-4 mol/g polimer; bandingkan dengan air yang hanya terserap sebanyak 2.2 x 10-4 mol/g polimer3, tanpa efek penggembungan. Penggembungan tersebut mengakibatkan rantai-rantai molekul di dalam struktur polimer saling menjauh satu sama lain, terutama di bagian amorf, sehingga mobilitasnya pun meningkat dan memungkinkan untuk tersusun kembali dalam suatu susunan yang lebih teratur dan rapat. Bagian polimer yang semula amorf kini menjadi lebih teratur sehingga menghasilkan polimer dengan derajat kristalinitas lebih tinggi. Di samping itu, perubahan juga dapat diamati pada migrasi oligomer PET ke permukaan serat, perubahan perilaku termo-mekanik, dan turunnya suhu transisi gelas (Tg).

Peningkatan mobilitas rantai polimer yang diikuti dengan penyusunan kembali posisi masing-masing rantai relatif terhadap lainnya disebut sebagai plastisasi. Fenomena ini juga bisa ditemui misalnya pada perubahan sifat-sifat fisik serat kapas akibat penggembungan dengan soda kostik pada proses merserisasi. Efek plastisasi SCO2 terutama sekali disebabkan oleh interaksinya dengan pusat-pusat reaksi bersifat basa di dalam struktur molekul polimer1-2. Hasil studi menunjukkan adanya interaksi asam-basa Lewis antara polimer yang mempunyai gugus fungsional berkarakter donor-elektron, misalnya karbonil (>C=O) pada PET atau poli(metil metakrilat), dengan karbon dioksida. Hasil studi yang lain memperlihatkan karbon dioksida dalam hal ini berperilaku sebagai asam Lewis. Interaksi tersebut membentuk suatu kompleks polimer-CO2 yang belum lagi diketahui bentuk geometrinya dan mengakibatkan berkurangnya interaksi antara rantai-rantai polimer yang berdekatan sehingga akhirnya masing-masing menjadi lebih bebas untuk bergerak relatif terhadap yang lainnya. Namun demikian, kadar spesi spesifik polimer-CO2 pada poliamida 6.6 ternyata tidak sebesar yang didapati pada PET. Ikatan hidrogen yang terbentuk antara gugus karbonil dan amida pada rantai-rantai yang berdekatan pada poliamida menghalangi interaksi asam-basa spesifik antara polimer dengan CO23.

Suhu Transisi Gelas dan Struktur Serat

Suhu transisi gelas secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suhu dimana pergerakan rantai-rantai molekul polimer yang semula sangat terbatas meningkat secara jelas menjadi lebih bebas. Plastisasi yang ditimbulkan CO2 memberi ruang gerak yang lebih besar pada rantai molekul polimer, sehingga mudah diduga jika pengerjaan dengan karbon dioksida berakibat pada turunnya suhu transisi gelas polimer. Penurunan tersebut ternyata sangat bervariasi, yaitu mulai dari 6°C hingga 70°C. Belakangan diketahui bahwa variasi tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan derajat kristalinitas antara satu sampel dengan sampel lainnya dalam tiap studi3. Serat yang bagian amorfnya lebih besar memungkinkan CO2 untuk berdifusi lebih banyak masuk ke dalam serat sehingga penurunan Tg-nya pun menjadi lebih besar. Kebanyakan bahan polimer yang dilaporkan dalam studi tersebut ternyata memiliki derajat kristalinitas sangat rendah, yaitu berkisar sekitar 33%. Dengan demikian tidak mengherankan jika kemudian terbukti bahwa bahan yang telah dimantap-panaskan terlebih dulu (pre-heatset) tidak mengalami perubahan suhu transisi gelas secara signifikan.

Perubahan struktur lainnya, di samping peningkatan derajat kristalinitas total, adalah migrasi oligomer dari bagian dalam serat keluar ke permukaan serat pada pengerjaan dengan suhu dan tekanan yang lebih tinggi (Gambar 1)4-5.


Mengkeret

Serat-serat sintetik yang tidak dimantap-panaskan terlebih dulu pada umumnya mengalami mengkeret antara 5-10% tergantung suhu dan tekanan pada proses karbon dioksida superkritik.6 Pada tekanan 280 bar dan suhu 120°C serat PET mengkeret hingga 10%. Pada serat yang dimantap-panaskan mengekeretnya hanya berkisar antara 0-2%, dan hanya pada kasus tertentu saja bisa mencapai hingga maksimum 4%.

Bagaimana halnya dengan serat-serat alam? Serat alam semacam kapas, wol, sutera dan rayon viskosa terbukti tahan dan pada umumnya tidak mengkeret bahkan pada kondisi suhu lebih tinggi, yaitu 160°C dengan tekanan 280 bar, dan waktu proses lebih lama (4 jam).

Kerusakan Serat

Pada umumnya, kerusakan pada serat yang mungkin timbul akibat proses dengan karbon dioksida superkritik bisa berasal dari salah satu ataupun kombinasi kedua hal berikut, yaitu panas dan asam, dimana efeknya meningkat seiring dengan waktu proses. Kemungkinan kerusakan pada serat akibat suatu perlakuan tertentu dapat diketahui dengan mengamati perilaku termo-mekaniknya. Hasil studi menunjukkan bahwa serat-serat alam semacam kapas, sutera dan wol serta selulosa yang diregenerasi (rayon viskosa) terbukti tahan terhadap perlakuan dengan karbon dioksida superkritik hingga 140°C selama 4 jam dan hingga 160°C untuk waktu proses yang lebih singkat. Serat poliester merupakan jenis serat yang paling tahan bahkan hingga suhu 160°C, sedangkan poliamida merupakan serat yang paling sensitif. Ia hanya tahan hingga suhu 120°C.6

Mengingat kestabilan serat-serat tersebut di atas terhadap kondisi proses dengan karbon dioksida superkritik hingga suhu 140°C, kecuali poliamida, maka secara umum dapat disimpulkan bahwa proses ini aman untuk proses penyempurnaan tekstil.

Daftar Pustaka

  1. Kazarian, S.G.; Vincent, M.F.; Bright, F.V.; Liotta, C.L.; Eckert, C.A. Specific Intermolecular Interaction of Carbon Dioxide with Polymers. J. Am. Chem. Soc., 1996, 118 (7), pp 1729-1736.

  2. Nelson, M.R.; Borkman, R.F. Ab Initio Calculations on CO2 Binding to Carbonyl Groups. J. Phys. Chem. A, 1998, 102 (40), pp 7860-7863.

  3. Bach, E.; Cleve, E.; Schollmeyer, E. Past, Present and Future of Supercritical Fluid Dyeing Technology - An Overview. Rev. Prog. Color., 2002, 32, p. 88-102.

  4. Hou, A.; Xie, K.; Dai, J. Effect of Supercritical Carbon Dioxide Conditions on the Chemical and Morphological Changes of Poly(ethylene terphtalate) Fibers. J. App. Polym. Sci., 2004, 92, pp 2008-2012.

  5. Sfiligoj, M.S.; Zipper, P. WAXS Analysis of Structural Changes of Poly(ethylene terephtalate) Fibers Induced by Supercritical-Fluid Dyeing. Coll. Polym. Sci., 1998, 276, pp 144-151.

  6. Schmidt, A.; Bach, E.; Schollmeyer, E. Damage to Natural and Synthetic Fibers Treated in Supercritical Carbon Dioxide at 300 bar and Temperatures up to 160°C. Tex. Res. J. 2002, 72, pp 1023-1032.




Tanya-Jawab & Diskusi

2 komentar

Nadya Lestari mengatakan... @ 20/04/12, 19.23

ini y pa yg sdkt d bhas wkt kmrin,,,smga ada postngn baru lg buat nambh referensi ^^

Anonim mengatakan... @ 13/05/12, 11.27

it was cooll...
keren abiss,,, semoga di kampus STT Tekstil ada yang dapat meneruskan untuk menemukan hal-hal baru yang dapat dijadikan suatu perubahan besar dalam kebiasaan meneliti dan keinginan untuk meneliti.. sukses untuk kita semua (Adipati Aloenk Doank - Mahasiswa STTT)

Posting Komentar